Awal SMA
Hampir tiga ratus orang lebih berseragam “putih biru” berbaris rapi di lapangan sebuah SMA favorit di daerah itu. Mereka semua berkumpul untuk pengarahan Masa Orientasi Siswa (MOS), yang akan dilaksanakan esok harinya. Tak terkecuali aku. Yup, aku adalah satu dari ratusan siswa yang mengikuti MOS di SMA ini. Luarbiasa. Akhirnya sampai juga aku pada fase ini, anak SMA. Hihi, aku sangat suka jadi anak SMA. Rasanya sangat keren memakai seragam “putih abu-abu”.
Banyak yang bilang masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan. Ku rasa pernyataan itu ada benarnya. Di masa ini lah, aku mulai mengenal yang namanya “persahabatan”. Klise mungkin. Tapi, ayo jujur! Kau juga mengalaminya, bukan? Hehe,
Di sini, ya, di SMA ini, aku mengenal sosok Zen dan Wawat. Kitab Lauh Mahfudz ku mencatatkan bahwa aku harus mengenal mereka. Sekelas dan bersebelahan bangku dengan keduanya. Zen dan Wawat duduk semeja. Sedang aku semeja dengan teman yang lain. Seiring berjalannya waktu, entah mengapa aku justru lebih dekat dengan Zen dan Wawat daripada dengan teman semeja ku sendiri. Dan seolah tanpa komando, aku menjadi dekat dengan keduanya, begitu saja, sederhana.
Shalat Ashar atau Jajan ya?
Satu SMA, menandakan waktu sekolah kami adalah dari pukul 13.00 sampai dengan pukul 17.00. Waktu belajar yang sangat tidak menyenangkan sebenarnya, alias selalu bikin ngantuk. Hehe,
Oia, kembali ke dua sahabatku itu. Dari mulai belajar bareng, ngobrol bareng, jajan bareng, dan pulang bareng, ada satu hal yang belum pernah aku lakukan bersama dengan mereka. Hal yang selalu membuatku sedih. Shalat Ashar bareng. Ya, kalian tahu kami belajar dari siang sampai sore. Otomatis akan melewati waktu shalat Ashar yang memang bertepatan dengan waktunya istirahat. Menjadi dilematis bagi seorang anak SMA yang beranjak dewasa, memilih antara jajan atau menunaikan shalat Ashar. Terlebih waktu istirahat memang tidak cukup untuk melaksanakan keduanya. Artinya, kalau memilih shalat Ashar, ya berarti tidak bisa jajan. Kalau memilih jajan, ya berarti tidak shalat Ashar.
Aku ingat, aku sering disindir guru, hanya karena aku terlambat masuk kelas selepas shalat Ashar. Maklum, mushola di SMA kami terlalu kecil untuk menampung siswa-siswa yang ingin shalat (Alhamdulillah, kalau sekarang mushola itu sudah menjadi masjid ^_^). Hingga terkadang, kami harus mengantri cukup lama untuk sekedar bertegur sapa denganNya. Maka dari itu, waktu untuk sedikit mengisi perut rasanya tidak cukup lagi.
Dan berbeda denganku, Zen serta Wawat lebih memilih mengisi perutnya ketimbang ruhaninya. Aku sedih. Terlebih pada masa ini, aku baru mengawali “karier” di jalan dakwah sebagai seorang anak ROHIS. Rasanya ada yang kurang dengan persahabatan kami. Maka, dengan semangat empat lima aku selalu mengajak mereka ketika istirahat tiba.
Sholat Ashar, yuk!” Ajakku.
“Hmm… kamu duluan aja deh.” Balas Zen dan Wawat dengan senyum yang seolah dipaksakan.
“Oh… ya udah kalo gitu, aku duluan ya.” Kataku mengakhiri percakapan.
Selalu seperti itu. Setiap jam istirahat tiba, aku selalu mengajak mereka untuk shalat Ashar. Walau aku tahu, jawaban yang aku terima pun selalu sama.
Kado Spesial Tanggal Dua Puluh Sembilan April Dua Ribu Lima
Hari itu seperti biasa kami masuk kelas pukul 13.00. Memulai belajar di siang hari yang panas. Ting teng ting teng, waktu seolah berjalan lambat sampai waktu jam istirahat pun tiba. Entah ada angin apa, kali ini kakiku langsung melangkah keluar kelas. Aku tidak mengajak Zen dan Wawat untuk shalat Ashar. Aku hanya bilang, “Zen, Wawat, aku ke mushola dulu ya”, sambil berlalu begitu saja. Ya, hari itu aku merasa lelah juga mengajak shalat, tapi tidak pernah mereka melaksanakannya. Hmm,,,
Tiba di depan mushola, ketika hendak melepas sepatu.
“Hey, kamu kok gak ngajakin kita sholat lagi sih?”, tiba-tiba Zen dan Wawat datang dengan membawa mukena.
“Kita kan juga mau shalat”, timpal Wawat, “iya kan Zen?”.
“Iya”, jawab Zen.
Aku hanya terdiam sejenak. Haru, mataku basah. Kau tahu, ini pertama kalinya aku merasakan dakwah itu indah. Aku memeluk Zen dan Wawat. Betapa aku mencintai mereka karena Allah. Terlebih, hari itu adalah hari yang sangat spesial. Zen berulang tahun. Subhanallah. Luarbiasa.
Kami pun shalat bersama-sama. Begitu pun hari-hari selanjutnya. Alhamdulillah.
Terus Berjuang
Kawan, memang benar, dakwah yang paling baik dan efektif adalah lewat tindakan, teladan. Setelah sekian lama tanpa bosan mengajak Zen dan Wawat shalat, akhirnya mereka luluh juga. Ketika kembali ke kelas hari itu, Zen menceritakan bahwa ia memang ingin memberi kejutan untukku di hari ulang tahunnya (aneh ya, harusnya aku yang kasih kejutan di hari ulang tahunnya. Hehe,^_^). Zen sedih karena aku tidak mengajaknya lagi untuk shalat dan hanya berlalu begitu saja. Tapi, tanpa ragu Zen dan Wawat pun mengikutiku sampai di depan mushola. Dan begitu seterusnya.
Jangan pernah menyerah kawan.
hmmm aku yang jadi Zen deh kayanya dulu...
BalasHapushehehhee
Hoho,,, Ini kisah nyata loh Ummi. Hikss,, jadi kangen Zen dan Wawat,,,
BalasHapus