My Dad |
Bagiku, Bapak adalah sosok sempurna dalam hal menyayangi dan menjaga anak-anak. Sudah 4 tahun aku kuliah di kota Bandung, baru di tahun ke 3 aku diizinkan pulang mudik naik bis (sebelumnya, aku selalu diantar-jemput). Itu pun karena aku nekat, alias tidak bilang-bilang bahwa aku akan pulang. Kenekatan yang sejatinya berasal dari trauma di Ramadhan tahun 2009.
Jujur, urusan antar-jemput ini benar-benar menggangguku. Aku sering berpikir bahwa Bapak tidak pernah membiarkan anak-anaknya hidup mandiri. Aku pun selalu minder saat teman-teman kuliahku berkata, "Kamu masih suka diantar-jemput, Dik? Ya Allah. Kamu kan udah mahasiswa! Apa kata dunia?"
Ya, entahlah dunia berkata apa. Yang pasti peristiwa di Ramadhan tahun 2009 tidak akan pernah bisa aku lupakan. Beberapa hari setelah Bapak menjemputku pulang ke rumah (mudik lebaran), Bapak terkena muntaber dan harus dibawa ke rumah sakit. Astaghfirullah, mungkinkah karena kecapekan setelah menjemputku pulang? Bandung-Tangerang memang hanya butuh waktu 3 jam, pulang pergi jadi 6 jam. Tapi di bulan Ramadhan, tentu lain soal. Tiba-tiba semua orang menyalahkanku atas kejadian ini. Aku dianggap sebagai anak yang selalu merepotkan orangtuanya.
Ujian tidak sampai di situ saja, selanjutnya Mama juga tertular. Mama pun jatuh sakit meski tak separah Bapak. Mama tidak perlu dirawat ke rumah sakit. Namun tetap saja, ini membuat rasa bersalahku semakin besar. Untuk beberapa hari aku tidak banyak bicara. Aku malu.
Aku, kakak serta adikku bergantian menjaga Bapak di rumah sakit. Meski di rumah sakit, sedikit pun perhatian Bapak terhadap anak-anaknya tidak pernah berkurang. Waktu itu, giliran aku dan Kak Dela menjaga Bapak dari pagi sampai sore. Sedang malam, Bapak dijaga oleh kakak iparku. Sepanjang hari, aku berusaha untuk tetap ceria di depan Bapak, meski dalam hati sebenarnya ingin sekali menangis. Tak sekata pun Bapak menyinggung perihal sakitnya yang -konon- disebabkan olehku. Sampai sore tiba, saatnya kami pamit.
“Kalian pulangnya dijemput lagi sama Om Udin, gak? Tadi pagi dianterin Om Udin kan ke sini (RS)?” Tanya Bapak.
“Mmm… Kita mau naik angkot aja, Pak. Udah tahu kok angkotnya. Teh Rike udah ngasih tahu tadi pagi.” Jawab Kak Dela.
“Iya, Bapak tahu. Tapi kalian kan belum pernah naik angkot daerah sini. Bahaya!” Balas Bapak mulai cemas.
“Gak apa-apa kok, Pak. Kali-kali dicoba, sekalian biar tahu daerah sini.” Giliran aku yang menjawab.
“Tahu gak, semalem Bapak denger dari pegawai RS, ada perampokan di tempat ngetem angkotnya. Jarinya sampai potong. Ih, serem!” Bapak mulai berargumen.
“Oh gitu. Tapi itu kan malam-malam, Pak. Ini kan masih sore. Sekalian ngabuburit juga, ya gak Kak? InsyAllah aman. Hehe…” Aku tidak mau kalah.
“Tetep aja, bentar lagi kan malem. Udah, mana handphone Bapak. Sini!”
Ya, untuk ke sekian kalinya kami kalah. Bapak berhasil menghubungi Om Udin dan memintanya menjemput kami. “Bapak, maaf telah sering merepotkanmu,” gumamku dalam hati.
Kini aku sadar, yang dilakukan Bapak bukanlah sekedar perhatian melainkan sebuah kasih sayang orangtua terhadap anaknya. Di hari ke-30 Ramadhan, Bapak pulang dari rumah sakit. Bapak tetap saja ceria, tidak ada sepatah kata pun yang menyiratkan bahwa dia menyalahkanku. Aku hanya berharap, semoga surga untukmu, Bapak. Aamiin.
NB: Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Flash True Story, Writing Revolution.
Kiss Kiss Dika :))
BalasHapusSEMANGAT sayang :))
Makasih mbakku sayang... :D
BalasHapus