Which one? |
Hidup adalah kumpulan pilihan, itu yang aku pahami. Meski kusadar, tidak semua pilihan dalam hidup bisa aku kuputuskan sendiri. Sesuai mau dan inginku. Dan untuk pilihan di luar kehendakku, aku menyebutnya: TAKDIR.
Memiliki seorang Ayah yang super protected, kurasa itu juga takdir.
Kalau boleh memilih, tentu memiliki Ayah yang pengertian lebih aku sukai. Ayah yang mau mendengarkan apa yang yang diinginkan anak-anaknya. Ayah yang tidak memanjakan anak-anaknya. Ayah yang mengerti kebutuhan akan ‘sebuah pengalaman’ dalam hidup anak-anaknya.
Payah. Aku tak kuasa menolak takdir.
Mungkin kau akan menganggap yang dilakukan Ayahku sebagai sebuah bentuk kasih sayang. Tapi bagiku, tidak sama sekali. Aku merasa terkekang, tidak bisa bergerak bebas. Aku tidak suka. Benar-benar menyebalkan. Salah satunya adalah aku yang harus selalu diantar-jemput saat hendak mudik Tangerang-Bandung. Menurutku ini berlebihan, bayangkan saja selama 2 tahun aku harus selalu diantar-jemput.
Ayah tidak pernah memikirkan pandangan miring teman-temanku -yang walau tidak secara langsung- tapi aku tahu mereka menganggapku sebagai anak yang manja. Maka, naik bis umum merupakan hal yang aku cita-citakan selama kuliah. Bayangkan, seumur hidup aku tidak pernah naik bis umum.
Pernah suatu hari aku mencoba bicara baik-baik tentang keinginanku naik bis umum saat mudik. Satu, karena aku tidak ingin lagi dicap sebagai anak manja. Dua, karena aku ingin mencoba suatu hal yang baru. Dan tiga, aku hanya tidak ingin merepotkan Ayah lagi.
“Yah, akhir pekan ini aku mudik.” Laporku pada Ayah via sambungan telpon.
“Oia? Jam berapa mau dijemput?” Tanya Ayah tanpa basa-basi.
“Boleh gak aku pulang naik bis?”
“Sama siapa?”
“Sendiri.”
“Tahu gitu naik bis apa dari Bandung?” Ayah mulai menginterograsi.
“Tahu kok, udah nanya-nanya ke kakak kelas yang orang Tangerang juga. InsyaAllah udah tahu naik bis apa.”
“Oh gitu. Ya udah atuh. Nanti kalau berubah pikiran, telpon Ayah lagi ya.”
“Ok, makasih Ayah.” Aku senang bukan kepalang, akhirnya Ayah mengizinkanku pulang naik bis umum.
Kau pikir aku sudah berhasil? Tidak semudah itu. H-1 keberangkatan, Ayah menelpon lagi.
“Dik, jadi pulang mudik besok?” Tanya Ayah.
“Jadi, Yah! Kenapa?”
“Dijemput aja ya.”
“Loh, kenapa? Kan kemarin udah diizinkan pulang sendiri, Yah.” Aku protes.
“Ayah khawatir kalau kamu cuma sendirian.” Alasan pertama.
“Gak usah khawatir, Yah. Yang penting aku udah tahu rutenya.” Sudah kuduga hal seperti ini terjadi.
“Ayah juga belum percaya kalau kamu belum satu tahun tinggal di Bandung. Kalau sudah satu tahun, Ayah baru percaya.” Alasan ke dua.
“Satu tahun? Lama banget Ayah.”
“Lagi pula, sekalian Ibu mau main ke Bandung.” Alasan ke tiga. Aku menyerah.
“Ya udah kalau gitu. Besok jam 9 dari Bandung.” Jawabku mengakhiri percakapan.
Kalau pembicaraan dilanjutkan, aku yakin akan banyak alasan Ayah yang semakin tidak masuk akal. Berlebihan alias lebay. Kapan aku dibiarkan mandiri?
Genap satu tahun berlalu, aku tidak juga diizinkan mudik sendiri. Sampai di tahun ke dua kulliah, aku tidak tahan lagi dan nekat mudik tanpa lapor ke orangtua. Sesuatu yang seharusnya aku lakukan sejak awal. Mengapa baru sekarang? Bukan apa-apa, aku yang terbiasa naik mobil pribadi –jujur saja- agak takut juga ketika harus mudik naik bis. Ini pengalaman baru bagiku.
Sepanjang malam hatiku was-was memikirkan, besok aku nyasar gak ya? Kira-kira bisnya desek-desekan gak ya? Kira-kira terminalnya aman gak ya? Ah… Tidak! Aku tidak boleh mundur. Sampai tiba hari keberangkatan, aku tidak boleh mundur.
Ya, aku berhasil sampai di rumah dan mengangetkan semua orang. Sejak saat itu, Ayah tidak pernah khawatir lagi aku mudik naik bis umum. Bahkan sekarang ketika aku melapor ingin mudik, Ayah hanya bilang “Oh, ya udah. Hati-hati ya, Dik.”
Kisah di atas hanya kisah sederhana. Bagi beberapa orang mungkin hal yang biasa. Namun bagiku, itu menjadi pengalaman berharga yang memiliki hikmah luarbiasa. Pandanganku terhadap Ayah seketika berubah. Aku sadar sekarang, Ayah hanya tidak ingin anaknya susah. Itu saja, tidak lebih. Akunya saja yang menganggapnya berlebihan.
Yup, hidup memang berisi kumpulan pilihan. Menang atau kalah dengan pilihan tersebut, kita sendiri yang menentukan. Dan pilihan yang aku ambil, membawaku kepada sebuah kemenangan. Aku berhasil. Aku mengalahkan ketakutanku sendiri.
Karakter Ayah memang cenderung ‘protected’ kepada anak-anaknya, aku tidak bisa memaksanya berubah. Karena memang tidak akan berubah, aku tidak bisa melarangnya berbuat demikian. Maka, tidak ada cara lain selain mengubah diriku sendiri.
Berapa banyak orang yang akhirnya tidak bergerak maju hanya karena takut akan sebuah pilihan. Dia kalah bahkan sebelum berperang dengan pilihannya tersebut. Pecundang. Dan berapa banyak orang yang sukses karena mereka mampu memilih dan mengambil resiko. Inilah kemenangan sejati. Menang atas pilihan kita sendiri.
Karena hidup adalah kumpulan pilihan. Menang atau kalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Don't be shy, write your mind! ^_^