Terang bulan mengiringi langkahku menuju ke tempat pengajian. Ini adalah kegiatan rutin setiap ba’da maghrib bersama kakakku, mengaji Al-Qur’an. Lokasinya tidak terlalu jauh sebenarnya, tapi tetap saja membuatku malas.
Pengajian ini memang hanya pengajian anak kampung yang dikelola dengan sukarela oleh Pak Sawir, guru ngaji kami. Sukarela dalam arti kami bebas bayar berapa pun dan kapan pun. Atau bahkan tak membayar sepeser pun tak masalah. Tempatnya pun sederhana, hanya sebuah ruangan di sebuah kontrakan mungil. Bangunannya masih terbuat dari setengah batako dan setengah bilik anyaman bambu. Tak jarang jika hujan tiba, bocor di sana-sini membuat anak-anak menjadi tidak konsenstrasi dalam mengaji.
“Mbak, nanti jalannya jangan ninggalin aku ya.” Aku yang memang penakut sudah wanti-wanti dari awal. Jalan menuju tempat pengajian memang seram, melewati kebun bambu.
“Tenang aja, La. Gak akan ada apa-apa.” Balas Mbak Rahma. “Yuk jalan!”
Sambil tetap menggenggam tangan Mbak Rahma, aku menatap ke arah kebun bambu di depan tempat pengajian. Semakin ditatap, semakin banyak halusinasi yang tercipta.
“Ih… Serem…” Aku lari meninggalkan Mbak Rahma.
***
Ruangan sudah hampir penuh saat aku sampai di tempat pengajian. Bahkan ada beberapa yang sudah mulai mengaji. Pengajian ini dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok remaja dan satu lagi kelompok anak-anak. Untuk kelompok remaja, sistem mengajinya dengan cara mengaji bergiliran satu-persatu. Maksudnya, ada satu orang mengaji dan yang lainnya menyimak sekaligus memberitahu jika ada bacaan yang salah. Sedangkan untuk kelompok anak-anak, langsung diajari oleh Pak Sawir satu-persatu.
Aku masuk kelompok remaja dan bersiap untuk menyetor bacaan. Aku akan membaca surat Al-Anbiyaa ayat 38.
“Wa yaquuluuna mataa haazdaal wa’ du inkuntum …”
“SHOODIQIIN…” Tiba-tiba semua orang berteriak. Ada apa dengan orang-orang ini? Masih dengan raut wajah heran, aku melanjutkan bacaanku.
“Lain kali akan aku tanyakan pada Mbak Rahma.” Benakku dalam hati.
***
Menurutku ini aneh. Memangnya ada peraturan saat kita membaca Al-Qur’an dan menemukan kata ‘shoodiqiin’, suara kita harus dikeraskan. Semacam membaca ‘aamiin’ di akhir surat Al-Fatihah. Bukan apa-apa, kejadian seperti ini tidak hanya sekali dua kali. Hampir setiap ayat yang berakhiran ‘shoodiqiin’ selalu saja dikeraskan.
“Mbak, kenapa sih kalau kita baca Al-Qur’an saat ngaji terus ada ayat yang berakhiran ‘shoodiqiin’ harus dikeraskan?” aku tidak tahan untuk bertanya saat sampai di rumah.
“Mmm… Mbak gak tahu juga, La. Sebenernya Mbak juga heran sih, tapi mungkin itu emang udah budaya aja.” Jelas Mbak Rahma.
“Hmm… Budaya?” Aku tidak puas dengan jawaban Mbak Rahma. Aku akan bertanya langsung ke Pak Sawir perihal ini. Ya, besok saat ngaji lagi, aku akan segera bertanya mengapa demikian. Aku harus menemukan jawabannya.
***
Malam ini masih seperti biasa. Maksudku, masih seram seperti sebelumnya. Kebun bambu yang berada tepat di depan tempat pengajian seringkali menjadi tempat favorit anak laki-laki berbuat jahil. Ada saja yang sengaja melempar batu ke tengah kebun sehingga membuat para anak perempuan ketakutan setengah mati, lari terbirit-birit.
“Loh, kok sepi? Mana anak-anak?” tanyaku pada Mbak Rahma saat kami tiba di depan pintu tempat pengajian. Bukannya menjawab, Mbak Rahma malah langsung masuk.
“Assalamu’alaikum.” Berbarengan aku dan Mbak Rahma mengucap salam.
“Wa’alaikumussalam. Oh… Dek Rahma, Dek Lala, ayo masuk. Sebentar lagi pengajiannya dimulai.” Pak Sawir mempersilakan kami masuk.
“Tumben Pak Sawir ikut di pengajian kami, ada apa sebenarnya?” Gumamku dalam hati.
“Kamu lupa, La. Kan setiap akhir bulan Pak Sawir bakal ngajarin kita langsung. Yang anak-anak pada libur.” Mbak Rahma menjawab keherananku.
“Oh… Iya ya. Hehe, aku lupa.”
Pengajian dimulai dengan pembacaan ayat Al-Qur’an oleh Pak Sawir. Sampai tiba di kata ajaib ‘shoodiqiin’ semua orang mengeraskan suara.
“Hey… Apa-apaan kalian? Kenapa mengeraskan suara seperti itu?” Tak disangka Pak Sawir begitu marah.
Semua hanya terdiam. Tidak ada yang sanggup atau lebih tepatnya tidak ada yang mau menjawab.
“Kenapa semua diam? Sejak kapan kalian melakukan hal bodoh semacam tadi?”
“A… anu Pak, itu emang udah biasa di sini.” Bang Dede akhirnya angkat bicara. Dia adalah ketua pengajian kelompok laki-laki.
“Biasa dari mana? Tidak ada peraturan dalam Islam yang mengharuskan kita mengeraskan suara saat ada ayat berakhiran ‘shoodiqiin’. Ada apa sebenarnya? Siapa yang memulai ini semua.” Pak Sawir tidak habis pikir, mengapa anak didiknya bisa melakukan hal yang tidak berdasar seperti ini.
“Begini, Pak. Sebenarnya ini karena bapaknya Si Surip namanya Pak Shodiqin. Jadi kita mau ngeledekin Si Surip dengan cara itu. Tapi gak tahunya jadi kebiasaan dan kebanyakan anggota pengajian yang baru gak banyak tanya. Ya udah.” Giliran Bang Dito yang menjawab.
“Apa!? Kalian aneh-aneh saja. Ngeledek orang pake ayat Al-Qur’an. Kalian ini tidak punya sopan santun ya? Hah? Al-Qur’an itu bukan untuk main-main. Bapak kecewa sama kalian. Ini juga yang masih baru, kenapa diam saja? Kalau kalian melakukan sesuatu, jangan asal ikut-ikutan. Cari dulu ilmunya. Kalau gak tahu, ya nanya. Jangan hanya diam saja. Paham?”
“Paham, Pak!” jawab semuanya serempak.
“Hmm… Ku kira karena apa, ternyata hanya kekonyolan dari beberapa oknum yang tidak bertanggungjawab. Dasar!” Aku jadi kesal sendiri.
Kata-kata Pak Sawir malam itu memang terdengar keras dan kejam. Tapi itu memberikan pemahaman mendalam pada diriku, bahwa sesuatu memang harus dicari dulu ilmunya. Jangan asal ikut-ikutan. Prinsip ini nantinya, menjadi bekal kehidupanku di masa depan. Alhamdulillah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Don't be shy, write your mind! ^_^