Oleh: Dika Fatwa
Bismillahirrahmaanirrahiim…
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jutaan bulir hujan membasahi wilayah Tangerang sepanjang siang. Guyurannya cukup menghambat acara Gladi Resik Lomba MTQ se-Kabupaten Tangerang, di SMAN 3 Tangerang. Panitia yang sedang memindahkan bangku kelas menuju tenda pun terpaksa istirahat sejenak dan akan melanjutkannya saat hujan sedikit lebih reda.
Panitia intinya sendiri adalah siswa-i kelas XI, gabungan dari anak-anak OSIS dan ROHIS SMAN 3 Tangerang. Sejak sebulan terakhir panitia sibuk mempersiapkan acara Lomba MTQ se-Kabupaten Tangerang dan -sekarang- tak terasa waktu mereka hanya tinggal beberapa jam saja menuju perhelatan acara. Rasa gugup dan was-was terhadap keberhasilan acara dirasakan semua panitia, tak terkecuali ‘genk’ AKHWAT RANGER.
Akhwat Ranger adalah julukan bagi anggota ROHIS akhwat kelas XI yang terdiri dari Dewi, Anah, Izzah, Ovi, dan si kembar Ika-Ita. Sebenarnya itu hanya julukan dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka. Jadi, tidak semua orang tahu tentang Akhwat Ranger. ^_^
Kembali ke persiapan acara Lomba MTQ. Sambil menunggu hujan reda, beberapa panitia memilih tidur-tiduran di masjid, makan, atau sekedar ngobrol santai membicarakan persiapan acara. Genk Akhwat Ranger yang sedang berkumpul di teras masjid, memilih makan untuk mengisi waktu istirahat mereka.
“Enaknya makan apaan ya hujan-hujan gini?” Ovi bertanya kepada seluruh anggota Akhwat Ranger. Duduk sila sambil topang dagu menjadi posisi favoritnya kalau sedang berkumpul seperti sekarang ini.
“Hmm,,, apaan ya?” Anah malah balik bertanya, nyengir tidak jelas.
“Wi, kira-kira kamu mau makan apa?” Ita bertanya kepada Dewi, biasanya Dewi paling tahu makanan enak.
“Makan nasi goreng aja, yuk!” Akhirnya Ika memberi rekomendasi. Namun sayang, rekomendasi Ika kelihatan sekali ngasal, mana ada tukang nasi goreng siang hari begini.
Ita sedikit kesal mendengar jawaban kembarannya itu, “Yee,,, mana ada tukang nasi goreng jam segini. Kamu gimana sih!”
Dewi yang sebenarnya ditanya Ita tadi, hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala melihat keributan si kembar. “Ada-ada saja,” batin Dewi.
“Iya-iya.” Ika malas melanjutkan ribut. “Eh… Zah, kamu ngapain sih? Ihhh,,, belajar mulu deh. Udah ah… tutup dulu bukunya. Ayo kita cari makan!” Izzah sejak tadi hanya sibuk dengan urusannya sendiri, belajar. Dan kali ini, Ovi, Dewi, Anah, dan si Kembar kompak menatap ke arah Izzah, menunjukkan ekspressi hentikan belajarmu!
Yang ditatap akhirnya menjawab dengan santai, “Makan bakso aja yuk!” Lantas menutup buku Fisika yang dibacanya tadi.
“Bukannya kalau hari libur kantin tutup, Zah?” Anah terlihat bingung.
“Tuh!” Izzah menunjuk ke arah beberapa anak OSIS yang sudah lebih dulu makan bakso. Ternyata ada tukang bakso yang lewat depan sekolah mereka.
Dan untuk kesekian kalinya, Ovi, Dewi, Anah, dan si Kembar kompak menatap ke arah Izzah, namun kali ini dengan ekspresi Izzah emang cerdas!
Ovi dan Anah bersedia memesankan. Jangan ditanya soal selera makan bakso, pasti semua anggota Akhwat Ranger hapal. Ada yang hanya suka bakso-nya saja, ada yang hanya ingin ditambah mie kuningnya saja, dan lain-lain. Semuanya sudah di luar kepala masing-masing. Namun, entah apa yang sedang dipikirkan Ovi dan Anah saat memesan bakso. Kali ini, ingatan mereka sedikit kacau. Mereka lupa kalau Dewi tidak suka seledri.
“Apaan nih? Dewi kan udah sering bilang, Dewi gak suka seledri. Kalian inget gak sih!” Tak disangka Dewi marah besar.
“Ehh,,, iya Wi. Afwan. Tadi kita udah bilang ke abang baksonya. Tapi kayaknya abang bakso kelupaan saking banyaknya pesanan. Iya kan, Nah?” Ovi meminta pembelaan.
“Kamu lupa bilang kali, Vi?” Anah justru menambah ruwet masalah. “Kayaknya emang kita lupa bilang deh!”
Wajah Dewi bertambah geram, merah padam.
“Udah sih, Wi. Gak usah ngambek gitu deh. Makan aja ngapa. Cuma sedikit kok seledrinya. Ke-aku-in aja seledrinya. Sini!” Ita ikut tersulut emosi, jengkel dengan sifat kekanak-kanakan Dewi.
“Tapi seledrinya udah nyampur, Ta. Dewi gak tahan sama baunya.” Dewi tetap ngotot.
Suasana menjadi sangat tidak nyaman untuk makan. Ika dan Izzah hanya bisa terdiam. Ovi dan Anah sudah sejak tadi menunduk, merasa bersalah.
Ita berdiri. “Ok, ya udah! Biar aku pesan baksonya lagi. Kasian Ovi dan Anah bolak-balik aja dari tadi. Mana ujan lagi.” Ita semakin jengkel, tidak sadar ucapannya tadi justru membuat Dewi merasa sakit hati.
Tepat saat Ita hendak melangkah, tiba-tiba Dewi sudah mengambil tasnya dan bersiap pergi. “Gak usah, Ta. Dewi gak butuh! Kalian emang gak pernah ngerti perasaan Dewi!”
Tanpa salam, Dewi pergi meninggalkan mereka dengan kemarahan memenuhi ubun-ubun. Ita menghela nafas dua kali. Satu untuk perasaan jengkel dengan sifat kekanak-kanakan Dewi. Dua untuk perasaan malu karena pertengkaran sepele mereka mau tidak mau dilihat oleh panitia yang lain.
Hujan turun semakin deras. Awan hitam sepertinya masih enggan beranjak dari kaki langit.
***
Sesuai kesepakatan, malam harinya Ika bertugas untuk menghubungi Mbak Ine, mentor ROHIS mereka. Masih terjadi keributan siang itu, saat Ita memaksa supaya dirinya saja yang menghubungi Mbak Ine. Tentu semua tidak sepakat. Ita masih dikuasai emosi, runyam urusan kalau Ita yang cerita. Bisa jadi ceritanya menjadi tidak obyektif.
“Iya mbak. Tadi siang gak disangka Dewi marah besar dan pergi gitu aja. Bilang kalau kami gak ngerti sedikit pun perasaan dia. Kami bingung, mbak.” Ika selesai memberi laporan.
“Hmm,,, gitu ya. Mbak juga sebenernya bingung dengan sifat Dewi. Akhir-akhir ini mbak rasa Dewi lebih sensitif.”
Ika memotong, “Dari dulu kali mbak, gak cuma hari ini aja. Dewi emang sedikit kekanak-kanakan.” Ika berusaha jujur. Lanjut Ika, “dan yang ngerasain gak cuma aku sama Ita aja. Akhwat Ranger yang lain juga ternyata ngerasain hal yang sama.”
“Oia?” Dahi Mbak Ine berkerut, yang tentu saja tidak terlihat oleh Ika.
“Betul mbak. Kalau gak percaya, mbak bisa tanya langsung ke mereka satu-satu.” Ika meyakinkan mbak Ine dengan apa yang dikatakannya tadi.
Mbak Ine terdiam, berpikir sesuatu sekaligus memberi ruang Ika untuk mengeluarkan unek-uneknya.
“Sebenernya kami udah terbiasa dengan sikap Dewi yang kayak gitu, mbak. Nanti juga kami yakin Dewi bakal baik lagi. Tapi masalahnya besok kan acara Lomba MTQ-nya dimulai, kita bingung kalau tanpa Dewi. Lagipula, kalau sifat Dewi dibiarkan gitu terus, aku khawatir ini gak baik buat Dewinya sendiri, mbak. Mbak Ine ngerti kan maksud aku?”
“Iya, Mbak Ine ngerti kok, de. Mbak juga berpikir ini gak bisa dibiarkan. Ya udah kalau gitu, saran dari Mbak Ine, biarkan aja Dewi kayak gitu dulu. Mungkin Dewi butuh berpikir. Bersikap seperti biasa aja. Jangan ungkit masalah tadi siang. Kita lihat dulu reaksinya besok. Gimana?” Mbak Ine mencoba bijak. Untuk kali ini, cuma itu jalan terbaik. Walau dalam lubuk hati, mbak Ine merasakan bahwa semua pasti ada penyebabnya. Dan itu tidak sekedar masalah bakso.
“Gitu ya mbak. Ya udah, nanti aku sampaikan ke yang lain. Makasih banyak ya, mbak. Semoga Dewi cuma bentar aja marahnya.”
“InsyaAllah, de. Jangan lupa doakan Dewi juga ya.”
“InsyaAllah mbak. Udah dulu ya mbak, selamat istirahat. wassalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakaatuh.”
***
Hari perhelatan Lomba MTQ se-kabupaten Tangerang tiba. Semua panitia sudah bersiap sejak pagi-pagi sekali. Bahkan ada beberapa ikhwan yang rela mabit untuk menyelesaikan dekorasi panggung yang sedikit rusak akibat percikan air hujan kemarin. Seluruh panitia sudah berada di posisinya masing-masing. Ada yang bertugas mengatur peserta, menjaga bazaar, menyiapkan konsumsi, dan lain-lain.
Semua sibuk.
Sambutan kepala SMAN 3 Tangerang mengawali pembukaan acara. Semua Akhwat Ranger –minus Dewi- khusyuk mendengarkan wejangan Bapak Kepala Sekolah mereka. Ah, tidak. Secara kasat mata mereka memang terlihat khusyuk, tapi sebenernya tidak. Otak dan hati mereka justru sibuk memikirkan apa yang harus mereka lakukan kalau nanti bertemu Dewi. Dewi memang belum datang. Atau lebih tepatnya sengaja datang terlambat untuk menghindari genk Akhwat Ranger.
Pukul sepuluh, acara sudah sampai pada peserta lomba no.5 dari MAN Mauk yang tahun lalu menjadi Juara Umum. Satu juri terlihat menuliskan sesuatu di kertas penjuriannya. Karena gugup, si peserta salah mengucapkan huruf, ikhfa menjadi izdar. Fatal, gelar juara umum mereka terancam.
Sudah tengah hari, tapi Dewi belum juga datang.
“Kenapa Dewi belum datang juga ya?” Ovi masih saja merasa bersalah.
“Iya ya,,, Dewi kok belum datang sih. Atau jangan-jangan malah gak akan datang sama sekali.” Anah sekali lagi malah menambah panik Ovi.
“Udah gak apa-apa. Mungkin Dewi emang butuh waktu buat berpikir. Kan aku udah bilang semalem, kata Mbak Ine, biarin aja dulu. Beri ruang berpikir buat Dewi.” Ika menatap Ita yang tanpa ekspresi.
“Dewi kenapa sih sebenernya. Kayaknya ada masalah lain deh selain masalah yang kemarin. Karena gak mungkin Dewi marah besar hanya gara-gara masalah bakso. Pasti ada sesuatu.” Si kutu buku Izzah memberi komentar.
“Tapi apa sesuatu itu? Kalau ada masalah, seharusnya dia cerita dong. Kalau emang Dewi udang anggep kita sebagai keluarganya, seharusnya Dewi gak sungkan untuk cerita.” Ita akhirnya angkat bicara.
“Tapi mungkin masalahnya lumayan berat, jadi Dewi gak sanggup buat cerita.” Ika membela Izzah.
“Tau ah,,, bodo!” Ita kesal mendengar jawaban kembarannya, beranjak pergi menuju bagian konsumsi, minta jatah makan siang.
Dewi memang benar-benar tidak datang hari itu. Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang berniat mencari tahu. Di satu sisi sebenarnya merasa tidak enak, tapi di sisi lain tetap ada perasaan bahwa sikap Dewi memang sangat kekanak-kanakan. Antara gengsi dan ingin “memberi pelajaran”, mereka kompak mendiamkan Dewi sampai Dewi yang memulai bicara duluan. Dasar anak SMA, sikap mereka justru sama kekanak-kanakannya.
***
Seminggu berlalu sejak acara Lomba MTQ Se-kabupaten Tangerang. Benar saja, MAN Mauk gagal meraih gelar Juara Umum, digantikan oleh SMAN 1 Balaraja yang secara mengejutkan memenangkan juara 1 Tilawah Al-Quran, Tahfidz Al-Quran, Fahmil Quran, Syarhil Quran, dan Qiroatil Quran sekaligus.
Sejak seminggu lalu pula Dewi selalu menghindar bertemu dengan personil Akhwat Ranger. Bahkan mentoring dengan Mbak Ine hari ini pun Dewi tidak datang.
“Ada yang tau gak, Dewi kemana? Mbak Ine hubungi kok gak nyambung-nyambung ya?” Wajah Mbak Ine terlihat khawatir.
“Gak tahu mbak. Dewi gak ngasih kabar ke siapa pun. Kayaknya langsung pulang ke rumah deh.” Jawab Anah.
“Kalian masih marah sama Dewi?” Mbak Ine bertanya serius.
Semua menggeleng pelan.
“Bener?” Mbak Ine kembali bertanya.
“Hmm,,, sebenernya aku udah gak marah, Mbak. Aku udah coba bicara sama Dewi kemarin-kemarin. Tapi Dewi selalu aja ngehindar. Ya mau gimana lagi. Yang penting kan kita usaha.” Ita mencoba menjelaskan pada Mbak Ine bahwa dirinya sudah berusaha untuk berbaikan.
“Iya mbak. Dewinya yang selalu menghindar. Kalo kita-kita sih udah fine-fine aja.” Ika kali ini membela saudari kembarnya.
Mbak Ine kembali terlihat muram. Ada sesuatu yang disimpannya.
“Mbak Ine tau sesuatu?” Izzah bertanya menyelidik.
“Sebenernya Mbak Ine bertemu Dewi kemarin. Mendengar kalian masih belum baikan, Mbak Ine akhirnya menemui Dewi sepulang sekolah.”
“Terus? Tapi kok kita gak lihat?” Giliran Ovi yang bertanya.
“Kalian memang gak lihat, karena mbak emang gak masuk ke sekolah, cuma nunggu Dewi di depan gerbang.” Jelas Mbak Ine. Lantas melanjutkan, “Sepertinya masalah Dewi memang tidak sepele yang dibayangkan. Kalian keberatan gak, kalau mentoring sekarang kita ganti jadi berkunjung ke rumah Dewi. Gimana?”
Sesaat semua terlihat ragu, melirik satu sama lain.
“Ok, mbak. Aku setuju. Aku juga gak ingin masalah ini berlarut-larut. Bagaimana pun juga, Dewi adalah keluarga kita. Gak ada salahnya, walau untuk yang ke sekian kalinya, kita yang mulai bicara duluan. Gimana teman-teman?” Tak disangka, Ita justru yang pertama setuju dengan ide Mbak Ine.
Semua mengangguk, tanda sepakat.
***
Di angkot dalam perjalanan menuju rumah Dewi, Mbak Ine menceritakan tentang pertemuannya dengan Dewi kemarin. Sesuatu yang membuat Mbak Ine tidak bisa tidur semalaman.
“Wi, Mbak Ine boleh bicara?” Tanya Mbak Ine sambil menahan tangan Dewi.
“Mau bicara apa, mbak? Mbak pasti udah denger semuanya kan dari Ita dan yang lainnya. Dewi emang kekanak-kanakan, sensitif, cepet marah! Terus, Mbak Ine mau ngomong apa lagi? Mau bilang bahwa Dewi gak dewasa, gengsian, atau apa? Hah?” Seperti dikuasi syaitan, Dewi nyerocos marah-marah.
“Bukan gitu, Wi. Mbak emang udah denger dari Ita dan yang lain, tapi mbak belum denger dari kamu, Wi. Sebenarnya ada apa?” Mbak Ine masih belum mau menyerah, menahan emosi.
“Udah lah mbak, Dewi cerita juga Mbak Ine pasti gak akan percaya. Percuma! Gak ada yang pernah ngertiin perasaan Dewi sedikit pun! Termasuk Mbak Ine!” Dewi menghempas pegangan tangan Mbak Ine, hendak berlari menuju halte.
Sigap Mbak Ine mengejar dan kembali menahan tangan Dewi. “Ayo, Wi! Cerita sama, mbak! Sebenernya ada apa?”
“Cukup, mbak. Biarkan Dewi sendiri!” Dewi berhasil lepas dari Mbak Ine. Cepat-cepat berlari kembali. Lantas berteriak, “Lebih baik Dewi mati!!! Daripada harus kenal dengan kalian! Biarkan Dewi MATI!!!”
Waktu seperti berhenti. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya, Mbak Ine terpaku. Hujan kembali turun ke bumi.
***
“Assalamu’alaikum…” Kompak, semuanya memberi salam.
“Wa’alaikumussalam. Ya sebentar.” Seseorang membalas salam mereka.
Ternyata yang menjawab salam dan membuka pintu adalah ibunya Dewi. Akhwat Ranger dan Mbak Ine pun dipersilakan masuk. Enam menit berlalu, semua masih menunggu Dewi yang sedang dibujuk ibunya untuk menemui mereka.
“Wi, apa kabar?” Mbak Ine membuka percakapan. Semua menoleh, Dewi sudah ada di hadapan mereka sekarang.
“Baik, mbak.” Jawab Dewi datar. Wajahnya terlihat sembab.
Suasana terasa sangat kikuk. Sibuk dengan kecamuk perasaan masing-masing.
“Cerita, Wi. Cerita sama kita. Jangan dipendam sendirian.” Ucap Ita dengan nada bergetar, langsung ke topik permasalahan.
Laiknya air sungai yang menemukan muaranya, mengalirkan semua cerita itu. Cerita yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Dewi, anak ke dua dari empat bersaudara menjadi tulang punggung keluarganya selama ini. Kakak laki-lakinya yang sakit-sakitan tak mampu membantu banyak. Sedangkan ibunya sendiri hanya mengandalkan usaha warung sederhana untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Ah,,, sampai sini, semua personil Akhwat Ranger & Mbak Ine tentu sudah tahu. Lalu bagaimana dengan Ayah Dewi? Bagian ini lah yang sejatinya tidak mereka ketahui sedikit pun. Mereka hanya tahu, Ibunya Dewi memang janda. Itu saja. Titik.
Ibu Dewi sebenarnya tidak sempurna janda. Lelaki yang menikahinya selama hampir 13 tahun meninggalkannya begitu saja. Tanpa pesan. Tanpa jejak. Tidak ada yang tahu kemana Ayah Dewi pergi. Bahkan keluarga dari Ayah Dewi di kampun pun bingung, tidak tahu sama sekali. Selingkuh? Pikiran Ibu Dewi terlalu sederhana untuk sampai pada kesimpulan itu. Dibunuh? Mereka adalah keluarga baik-baik. Kecil kemungkinan untuk terjadi hal itu.
Sudah satu tahun berlalu, Ayah Dewi tak kunjung ada kabar. Keluarga pun sudah tidak berniat ambil pusing. Ada hidup yang harus tetap dilanjutkan, pikir mereka.
Hal ini tentu terasa lebih menyakitkan. Labih baik bercerai secara baik-baik daripada pergi diam-diam tanpa kabar. Namun tak disangka, seminggu yang lalu Ayah Dewi kembali. Sehari sebelum acara Gladi Resik Lomba MTQ Se-kabupaten Tangerang. Dewi dan keluarga tentu bahagia dengan kedatangan sang kepala keluarga kembali ke rumah. Namun, kesenangan itu hanya sesaat. Ternyata Ayah Dewi datang, bukan untuk kembali ke kehidupan keluarga Dewi.
“Ayah gak pulang buat kita, anak-anaknya. Tapi justru Ayah pulang untuk ngabarin kalau dirinya udah nikah lagi dan lebih memilih untuk tinggal bersama istri mudanya di Surabaya.” Dewi mengelap ingus, sejak tadi airmatanya tak kunjung berhenti.
“Ayah gak sayang lagi sama Dewi. Ayah gak sayang lagi sama Ibu. Ayah jahat!” Dewi menghambur ke pelukan Mbak Ine. Isaknya semakin tidak tertahan.
Ovi, Anah, Izzah, dan si kembar Ita-Ika hanya mampu menangis mendengar cerita pilu sahabatnya itu.
“Ma..af…” ucap Dewi terbata-bata. “Maafin Dewi karena udah membuat kalian kecewa. Dewi hanya sudah menganggap kalian keluarga. Jadi Dewi pikir kalian akan ngerti perasaan Dewi tanpa Dewi harus cerita.” Tangannya mengggenggam erat tangan Mbak Ine. “Dewi yang salah. Dewi yang kekanak-kanakan. Dewi yang bodoh karena menumpahkan kemarahan yang seharusnya diterima Ayah, tapi justru kalian yang menerimanya. Ma..af…”
“Gak, Wi. Kamu gak salah sama sekali. Kami yang salah. Kami gak pernah ngerti kondisi kamu. Kami justru sibuk dengan urusan kami masing-masing.” Ucap Ika disertai isak tangis.
“Ma..af… Ma.. af…” terdengar suara Ita, parau. Sambil menunduk, dirinya terus saja meminta maaf.
Ovi, Anah, dan Izzah sudah tak sanggup lagi berkata-kata. Mbak Ine tersenyum melihat adik-adik mentornya. Sebuah pelajaran berharga yang akan menjadi bekal di masa depan mereka.
Hari itu, seribu malaikat turun ke bumi. Menyebarkan kebahagiaan bagi insan-insan yang saling memaafkan. Rahmat Allah sekalian alam.
***
S e b u a h E p i l o g . . .
Apa kabar sahabat di mentoringmu? Sudah bertanya kabar mereka hari ini? Tahukah kamu, bisa jadi salah satu dari mereka, ada yang sedang kehilangan orangtua. Dia sedang butuh kamu.
Apa kabar kawan di kelasmu? Sudah bertanya kabar mereka hari ini? Tahukah kamu, bisa jadi salah satu dari mereka, ada yang sedang kecelakaan. Dia sedang butuh kamu.
Apa kabar rekan kerja di samping kiri dan kanan mejamu? Sudah bertanya kabar mereka hari ini? Tahukah kamu, bisa jadi salah satu dari mereka, ada yang baru saja ditipu bisnis miliyaran rupiah. Dia sedang butuh kamu.
Jika belum, lakukan sekarang. Yakinlah, semakin banyak orang yang mau lebih banyak mendengar daripada berbicara, semakin makmur bumi ini. Makmur dengan keluhuran budi, saling mengerti dan memahami.
"......mencintai itu, kadang mengumpulkan segala tabiat menyebalkan dari seseorang yang engkau cintai, memakinya, merasa tak sanggup lagi menjadi yang terbaik untuk dirinya, dan berpikir tak ada lagi jalan kembali, tetapi tetap saja engkau tak sanggup benar-benar meninggalkannya."
_Tasaro GK dalam Novel "Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan"_
SEMOGA BERMANFAAT
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan dari penulis:
Ini bukan kisah nyata, hanya terinspirasi dari kisah nyata. Judulnya mungkin sedikit lebay, ya biarkan saja, toh saya yang menulis. Hehe,,, Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita untuk lebih banyak lagi mendengar. See you in the next story! Jazakallah.
LIKE
BalasHapusThank you Trian. :)
BalasHapus