Kamis, 10 November 2011

[Cerpen] Pahlawan Yang Kubenci

Assalamu'alaikum. Alhamdulillah sudah memasuki bulan November. Sebelumnya ane ingin mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Adha. Maaf rada telat ngucapinnya. Hehe... Well, mengawali postingan pertama di bulan ini, ada sebuah cerpen sampah yang gak menang lomba. Hehe... Daripada ini cerpen diikutkan lomba yang lain yang udah pasti kagak bakalan diterima, yo wes ane posting aja di sini. Siapa tahu bermanfaat, meski gak menang lomba. Ya sudah, daripada banyak cas cis cus gak jelas yang ujung-ujungnya malah curhat, haha... mending langsung baca aja! Cekidot!

H A P P Y   R E A D I N G ! ! !

Pahlawan yang Kubenci

            Taman Ismail Marzuki, 2020
            “Selamat ya, Fiz! Akhirnya buku lo yang ke seratus jadi juga launching hari ini.”
          “Iya, makasih bro! Gue gak nyangka, hari yang gue udah dambain sejak lama, akhirnya terjadi juga. Alhamdulillah, gua gak pernah nyangka bakal secepat ini. Dan semuanya berkat lo, Riz! Thanks ya, bro! Terimakasih atas bantuan lo selama ini.”
            “Halaaah, lo bilang apa sih. Gue gak bantuin apa-apa lagi. Kesuksesan lo saat ini adalah berkat kerja keras lo sendiri. Hehe…”
            “Siapa bilang lo gak bantuin apa-apa. Lo tuh udah…”
        “Stop, stop, stop! Gak usah dilanjutin. Nama lo dah dipanggil tuh sama MC. Cepet sana naik ke panggung, jangan buat para penggemar novel lo pada nunggu! Ayo!”
           “Ok, ok, ok. By the way, pekan depan jadi acara pameran Desain Grafis lo di Sydney? Gue diundang gak?”
          “Pastinya lah, gak mungkin gue gak ngundang adik kembaran gue yang paling ganteng ini. Udah buruan sana! Go, go, go!”
***
         Hari ini adalah salah satu hari yang paling ditunggu-tunggu dalam hidup Hafiz. Novel perdananya akan dikirmkan ke penerbit dan kemungkinan besar akan langsung diterbitkan. Semua sudah siap. Tapi entah mengapa, Hafiz merasa masih ada sesuatu yang kurang. Maka Hafiz pun menemui Hariz, berharap mendapatkan suntikan semangat dari saudara kembarnya.
            “Riz, lagi sibuk gak?” tanya Hafiz saat sudah berada dalam kamar Hariz. Dilihatnya Hariz sedang asik dengan aplikasi Photoshop CS4-nya.
            “Gak. Kenapa emangnya?” Hariz membalikkan badan, mengarahkan pandangannya pada Hafiz.
            “Gak apa-apa. Serius nih lo gak lagi sibuk?”
            “Ye lah, beneran. Emangnya kenapa sih? Hmm… roman-romannya ada yang gak beres nih. Napa brow?”
            “Gini, Riz. Gue kan hari ini mau ke penerbit buat ngirimin naskah novel perdana gue. Tapi gak tahu kenapa, kok gue gak yakin ya? Hmm….”
            “Kok bisa gak yakin, Fiz? Gak biasanya lo pesimis begini?” Hariz heran sendiri dengan sikap Hafiz yang biasanya selalu optimis dengan apa pun yang dia kerjakan.
            “Bukan gitu. Gue cuma butuh pendapat lo. Yang jujur sejujur-jujurnya karena ini menyangkut masa depan gue.”
            “Haha…. Lebay banget sih.”
            “Ihh… gue serius. Gue mau nanya, lo kan dah baca nih novel gue. Menurut lo sendiri, novel ini bagus gak sih?”
            “Serius mau tahu pendapat gue? Gak nyesel? Hehe….” Hariz mencoba mencairkan suasana tegang di hati Hafiz.
            “Ya seriuslah. Makanya gue ke sini. Jadi gimana pendapat lo, Riz?”
            “Hmm… Sejujurnya, tulisan lo tuh basi! Gak ada bagus-bagusnya. Kurang greget, Fiz! Terlalu klise! Gak asik deh pokoknya! ”
            “Maksud lo?” Hafiz syok mendengar pendapat kembarannya.
            “Bentar dulu, gue belum selesai ngomong. Sabar bro!”
            “Sabar sih sabar! Tapi apa maksud lo bilang kayak gitu! Ternyata salah besar gue datang ke sini. Bukannya semangat yang gue dapet, malah hinaan yang gue terima dari mulut lo. Bener-bener jahat lo, Riz! Gak nyangka lo bisa ngomong gitu sama gue.”
            “Fiz, bentar! Sabar bro! Gue belum selesai ngomong nih. Tulisan lo emang klise… tapi…”
            “Halah… udah. Gue gak mau denger lagi!”
“Tapi, Fiz! Hafiz!!!”
            BRAKKK!!!
***
            Hafiz dan Hariz, sepasang kembar identik dengan sifat yang sangat tidak identik. Meski wajah mereka bagai pinang dibelah dua, tapi sifat mereka justru bagai air dan api. Begitu bertolak belakang.
            Hafiz yang selepas kuliah memutuskan untuk total terjun di dunia kepenulisan, memiliki sifat melankolis akut. Begitu perasa, mudah tersinggung, namun sangat ambisius. Sebaliknya, Hariz yang sudah lama bercita-cita sebagai Desainer Grafis, memiliki sifat cuek, santai, dan cenderung ceplas-ceplos dalam berbicara.
            Meski sifat keduanya amat berbeda, tapi itu semua tidak mengurangi kekompakan mereka dalam menggapai cita-cita. Walaupun bidang yang ditekuni berbeda, mereka tidak sungkan untuk ikut belajar hal yang saudaranya tekuni. Berpikir, siapa tahu suatu saat saudaranya butuh bantuan, masing-masing dirinya bisa saling menolong.
            Bagi mereka, perbedaan adalah sebuah keistimewaan. Ajang untuk saling melengkapi satu sama lain. Begitulah.
***
            Hafiz menutup pintu dengan keras! Ditumpahkannya emosi pada semua benda yang ada di dalam kamarnya. Kasar, tangannya mulai merobek lembaran-lembaran hard copy novel yang sebelumnya hendak ia kirimkan ke penerbit.
“Gue benci lo, Riz!” teriak batinnya penuh amarah. “Enak aja lo bilang tulisan gue jelek. Tau apa lo tentang nulis, nerbitin buku juga lo belum pernah! Sok-sok-an nilai tulisan gue kayak gitu! Aaarrrgghhh!!!!”
Tiba-tiba Hariz datang dan sudah berada tepat di belakangnya.
“Sorry, bukan maksud gue nilai tulisan lo jelek. Gue bener-bener gak niat buat nyakitin lo, Fiz!” Hariz mencoba menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.
Hafiz membalikkan badan.
“Ngapain lo ke sini! Puas ngatain tulisan gue jelek! Hah?” Hafiz menumpahkan amarahnya sekali lagi. “Pergi lo, jangan pernah masuk kamar gue lagi!” Didorongnya Hariz keluar.
Dan… BRAKKK!!!
Pintu kembali ditutupnya dengan kasar. Seketika kakinya lemas dan akhirnya jatuh terduduk di balik pintu. Sesak.

***
“Hoaaammm! Ya Allah, bakal selesai gak ya besok. Hwaaa… ya Allah!” Hafiz terlihat sangat lelah dengan editan naskahnya. Malam itu juga, Hafiz harus menyelesaikan editan naskah untuk dikirim ke panitia perlombaan besok. Semua harus selesai. Pantang baginya menunda, terlebih ini adalah perlombaan menulis yang amat bergengsi bagi dirinya. Semua harus sempurna!
            “Kenapa, Fiz? Kalau capek, tidur aja dulu. Nanti gue bangunin sejam dari sekarang.” Hariz yang berada di sampingnya memberi saran. Sudah jadi kebiasaan ketika banyak deadline, mereka akan mengerjakannya bersama-sama. Saling menemani. Kadang keduanya mengerjakan di kamar Hariz, kadang pula di kamar Hafiz.
            “Emangnya lo gak akan tidur, Riz?”
            “Kayaknya gak. Gue bakal begadang coz banyak pesanan desain untuk sebulan ini. Gak bisa ditunda. Udah, mending lo tidur aja dulu. Biar fresh. Lagian, lo pasti masih capek. Tadi kan lo baru pulang ba’da Maghrib. Jangan dipaksain, nanti sakit loh!” jelas Hariz panjang lebar.
            “Tapi nih naskah kudu selesai besok. Nanti kalau gue ketiduran gimana?” Hafiz masih keukeuh melanjutkan pekerjaannya meski mata sudah minta direhatkan.
            “Kan tadi gue bilang, sejam dari sekarag gue yang bakal bangunin lo.”
            “Yakin lo juga gak bakal ketiduran?”
            “Kapan sih gue bohong sama lo!”
            “Oia ya. Hehe… Oke deh. Gue tidur dulu sekarang, jangan lupa bangunin gue sejam lagi ya.”
            “Okay! Udah sana tidur!”
***
            Hariz hanya bisa menghela nafas saat Hafiz mengusirnya keluar dari kamar. Hatinya pun tak kalah sesak. Bagaimana tidak, hubungan yang selama ini selalu dalam kondisi baik harus retak hanya karena kesalahan kecil yang fatal. Dan lebih sesak lagi saat sadar semua karena kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri. Sigh!
            Tentu bukan maksud untuk menghina tulisan hasil karya Hafiz. Sekali pun tidak. Bagaimana lah mungkin Hariz tega menyakiti hati kembarannya itu. Hafiz lah yang selama ini selalu menyemangatinya dalam mewujudkan cita-citanya menjadi seorang Desainer Grafis. Hafiz pula lah yang selama ini menjadi ‘humas’ dalam mempromosikan usaha Digital Printing yang baru dirintis Hariz setahun terakhir. Ya, semua karena Hafiz.
            Tapi apa yang sudah Hariz lakukan terhadap Hafiz hari ini? Semua karena kalimat yang keluar dari mulutnya secara ceplas-ceplos, “Tulisan lo kurang greget, Fiz! Terlalu klise!”

***
            Hariz melirik Hafiz yang masih tertidur lelap. Dibenarkannya posisi Hafiz di atas kasur lantas diselimuti. Diperhatikannya wajah Hafiz sesaat lalu tersenyum.
Hariz berbohong. Malam itu, Hariz sebenarnya sedang tidak ada pesanan desain. Dia hanya ingin menemani kembarannya. Hariz tahu betul, Hafiz sangat sibuk di luar seharian ini. Tapi deadline lomba menulisnya tinggal beberapa jam lagi. Seperti yang ia duga, Hafiz akan memaksakan diri bergadang menyelesaikan tulisan meski tubuhnya sudah teramat lelah.
“Hanya tinggal mengedit EYD-nya saja kan. InsyaAllah gue bisa. Mudah-mudahan gak ada yang salah ya Allah. Bismillah!” Hariz berbicara pada dirinya sendiri. Tanpa sepengetahuan Hafiz, Hariz melanjutkan editan naskah kembarannya sampai akhirnya ikut tertidur.
Hingga subuh menjelang, Hafiz baru terbangun karena azan yang didengarnya.
“Adzan Subuh? Ya Allah!” Hafiz segera beranjak dari kasur menuju meja kerjanya. Dilihatnya Hariz yang tertidur di depan komputer yang masih menyala.
“Riz! Bangun Riz! Kenapa lo gak bangunin gue sih! Katanya bakal bergadang, kok lo malah ikut tidur sih?” Ucap Hafiz yang merasa kesal karena tidak dibangunkan sesuai janji.
“Hah? Heuu…. Oh, ya. Sorry bro. Gue gak tahan juga akhirnya, jadi ketiduran.” Jawab  Hariz santai. “Kapan lo bangun? Ya udah, gue ke kamar mandi dulu ya. Udah adzan kan.” Hariz berlalu menuju kamar mandi.
“Dasar! Katanya mau bangunin gue. Arrgghhh… Naskah gue gimana nih!” Umpat Hafiz sambil melihat naskah yang belum diselesaikannya tadi malam.
“Naa… naskah gue? Loh kok bisa? Kok udah selesai sih? Perasaan semalem EYD-nya masih acak-acakan deh. Hmm… Hariz?” Seketika senyum tersimpul di wajah Hafiz. “Hariz, Harizzz! Lo emang sodara gue yang paling baek!”
***
            Sejam setelah kesalahpahaman yang terjadi, Hariz memutuskan untuk kembali masuk ke kamar Hafiz. Menjelaskan semuanya.
            Tok, tok, tok!
Tidak ada sahutan. Diketuknya untuk yang kedua kalinya, tetap tidak ada respon. Ke tiga dan ke empat kalinya pun sama. Khawatir terjadi sesuatu, Hariz pun membuka sendiri pintu kamar Hafiz yang beruntung tidak terkunci.
“Sydney, jangan lupa undang gue ya, Riz!” Hafiz mengigau dalam tidurnya.
“Fiz, bangun, Fiz!”
“Sy… Sydney…” Mata Hafiz perlahan terbuka, dilihatnya Hariz sudah berada di samping tempat tidurnya.
“Lo dah bangun, Fiz? Lo mimpi ya? Hmm… sorry ya yang tadi. Gue bener-bener gak maksud buat ngehina tulisan lo.” Ucap Hariz benar-benar menyesal.
“Gue yang seharusnya minta maaf, Riz. Gue yang salah. Lo bener, tulisan gue emang masih abal-abal. Masih amatiran.” Tidak disangka, Hafiz malah balik meminta maaf lantas memeluk saudara kembaranya itu.
“Sorry ya. Sebenernya tadi gue cuma mau becanda sedikit. Senebernya gue mau bilang… Tulisan lo emang jelek, klise, gak asik. TAPI ITU DULU! Sekarang, lo dah pantas menyandang predikat penulis yang hebat! Gue bangga sama lo, Fiz. Bangga… banget!”
***
Maaf ya kalau tulisannya rada-rada berantakan, maklum langsung copas dari Ms. Word. Hehe.... Oia, cerpen ini juga punya judul lain yaitu "The Twin's Hero", usulan dari kembaran ane sendiri. Dan sejujurnya, ide cerpen ini ya dari kembaran ane itu. Hehe... Terimakasih sudah mau baca ya... Jumpa di cerpen buangan selanjutnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Don't be shy, write your mind! ^_^