Minggu, 27 November 2011

Guru Terhebat


Kawan, kau mungkin hanya mengingatnya sebagai seorang guru biasa yang hobi mencubit jika kau melakukan kesalahan di sekolah. Mungkin pula, kau hanya mengingatnya saat ia dengan ringan tangan menggunting celana SMP milikmu yang panjangnya tidak sesuai aturan, "Ikutan trend anak band, Pak!" itu katamu dulu. Atau, bisa jadi kau hanya mengingatnya saat ia berteriak meminta kalian berhenti tawuran, lantas berpura-pura menelpon polisi saat kalian tak jua mendengarkan perintahnya. Begitukah?

Ah, jika benar demikian, semoga ceritaku ini bisa sedikit membuat kalian mengerti tentangnya. Tentang lelaki tua yang selalu menginspirasiku dalam hidup. Dia adalah guruku, gurumu, guru kita semua. Dan aku merasa beruntung telah hidup bersamanya selama lebih dari 20 tahun. Yes, he is my lovely Dad.

Ia adalah sosok yang mengajariku untuk lebih banyak memberi daripada meminta. Ini adalah pelajaran hidup yang akan selalu aku ingat. Seperti sore itu, saat Bapak pulang membawa beberapa pisau yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan alias sudah ada banyak di rumah. Saat ditanya mengapa tiba-tiba membeli itu semua, Bapak santai menjawab, “Tadi ada tukang pisau keliling mampir di sekolah. Kasihan, kayaknya pisaunya gak laku-laku. Ya udah, akhirnya Bapak beli aja. Hitung-hitung sedekah.”

Ia adalah sosok yang baik, teramat malah. Selalu memberi sebelum aku meminta. Memberi tanpa banyak bicara. Sosok yang mengajariku untuk bersyukur dengan lebih banyak memberi. Sosok yang terlihat kasar di luar, namun sangat humoris saat bersama keluarga.

Pun ketika aku sudah kuliah. Saat menelepon, tiga pertanyaan yang selalu diajukannya justru bukan tentang kuliah.
“Gimana kabarnya? Sehat?”
“Sudah makan atau belum?”
“Uang bulanannya masih cukup?”
Entah butuh berapa lama agar aku bisa membalas semua kebaikanmu, yang sejatinya tidak akan pernah bisa aku lunasi. Terimakasih, Bapak! Pelajaran hidup yang telah Bapak berikan, akan selalu menjadi bekal penting perjalanan hidupku ke depan. You are the best teacher ever!

 I love you, Dad...

***

Catatan ini untuk Bapak, yang telah mendedikasikan hidupnya di dunia pendidikan selama lebih dari 20 tahun.


Kamis, 10 November 2011

[Cerpen] Pahlawan Yang Kubenci

Assalamu'alaikum. Alhamdulillah sudah memasuki bulan November. Sebelumnya ane ingin mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Adha. Maaf rada telat ngucapinnya. Hehe... Well, mengawali postingan pertama di bulan ini, ada sebuah cerpen sampah yang gak menang lomba. Hehe... Daripada ini cerpen diikutkan lomba yang lain yang udah pasti kagak bakalan diterima, yo wes ane posting aja di sini. Siapa tahu bermanfaat, meski gak menang lomba. Ya sudah, daripada banyak cas cis cus gak jelas yang ujung-ujungnya malah curhat, haha... mending langsung baca aja! Cekidot!

H A P P Y   R E A D I N G ! ! !

Pahlawan yang Kubenci

            Taman Ismail Marzuki, 2020
            “Selamat ya, Fiz! Akhirnya buku lo yang ke seratus jadi juga launching hari ini.”
          “Iya, makasih bro! Gue gak nyangka, hari yang gue udah dambain sejak lama, akhirnya terjadi juga. Alhamdulillah, gua gak pernah nyangka bakal secepat ini. Dan semuanya berkat lo, Riz! Thanks ya, bro! Terimakasih atas bantuan lo selama ini.”
            “Halaaah, lo bilang apa sih. Gue gak bantuin apa-apa lagi. Kesuksesan lo saat ini adalah berkat kerja keras lo sendiri. Hehe…”
            “Siapa bilang lo gak bantuin apa-apa. Lo tuh udah…”
        “Stop, stop, stop! Gak usah dilanjutin. Nama lo dah dipanggil tuh sama MC. Cepet sana naik ke panggung, jangan buat para penggemar novel lo pada nunggu! Ayo!”
           “Ok, ok, ok. By the way, pekan depan jadi acara pameran Desain Grafis lo di Sydney? Gue diundang gak?”
          “Pastinya lah, gak mungkin gue gak ngundang adik kembaran gue yang paling ganteng ini. Udah buruan sana! Go, go, go!”
***
         Hari ini adalah salah satu hari yang paling ditunggu-tunggu dalam hidup Hafiz. Novel perdananya akan dikirmkan ke penerbit dan kemungkinan besar akan langsung diterbitkan. Semua sudah siap. Tapi entah mengapa, Hafiz merasa masih ada sesuatu yang kurang. Maka Hafiz pun menemui Hariz, berharap mendapatkan suntikan semangat dari saudara kembarnya.
            “Riz, lagi sibuk gak?” tanya Hafiz saat sudah berada dalam kamar Hariz. Dilihatnya Hariz sedang asik dengan aplikasi Photoshop CS4-nya.
            “Gak. Kenapa emangnya?” Hariz membalikkan badan, mengarahkan pandangannya pada Hafiz.
            “Gak apa-apa. Serius nih lo gak lagi sibuk?”
            “Ye lah, beneran. Emangnya kenapa sih? Hmm… roman-romannya ada yang gak beres nih. Napa brow?”
            “Gini, Riz. Gue kan hari ini mau ke penerbit buat ngirimin naskah novel perdana gue. Tapi gak tahu kenapa, kok gue gak yakin ya? Hmm….”
            “Kok bisa gak yakin, Fiz? Gak biasanya lo pesimis begini?” Hariz heran sendiri dengan sikap Hafiz yang biasanya selalu optimis dengan apa pun yang dia kerjakan.
            “Bukan gitu. Gue cuma butuh pendapat lo. Yang jujur sejujur-jujurnya karena ini menyangkut masa depan gue.”
            “Haha…. Lebay banget sih.”
            “Ihh… gue serius. Gue mau nanya, lo kan dah baca nih novel gue. Menurut lo sendiri, novel ini bagus gak sih?”
            “Serius mau tahu pendapat gue? Gak nyesel? Hehe….” Hariz mencoba mencairkan suasana tegang di hati Hafiz.
            “Ya seriuslah. Makanya gue ke sini. Jadi gimana pendapat lo, Riz?”
            “Hmm… Sejujurnya, tulisan lo tuh basi! Gak ada bagus-bagusnya. Kurang greget, Fiz! Terlalu klise! Gak asik deh pokoknya! ”
            “Maksud lo?” Hafiz syok mendengar pendapat kembarannya.
            “Bentar dulu, gue belum selesai ngomong. Sabar bro!”
            “Sabar sih sabar! Tapi apa maksud lo bilang kayak gitu! Ternyata salah besar gue datang ke sini. Bukannya semangat yang gue dapet, malah hinaan yang gue terima dari mulut lo. Bener-bener jahat lo, Riz! Gak nyangka lo bisa ngomong gitu sama gue.”
            “Fiz, bentar! Sabar bro! Gue belum selesai ngomong nih. Tulisan lo emang klise… tapi…”
            “Halah… udah. Gue gak mau denger lagi!”
“Tapi, Fiz! Hafiz!!!”
            BRAKKK!!!